Pemburu Tawa

Menyajikan dunia dalam kaca dengan semua lika-likunya

Natal dan Kenangan Masa Kecil 13 December 2019

Filed under: Life — Priska Apriani @ 9:38 am
Tags: , , , , , , , , , , , ,

Menurut bahasa Portugis, Natal berarti kelahiran. Kelahiran seorang putra karena kasih-Nya untuk semua manusia. Merayakan Natal berarti merayakan kelahiran Sang Juru selamat. Bagi saya, Natal adalah kegembiraan, berita gembira.

Dulu, ketika kecil, Desember adalah bulan yang paling menyenangkan bagi saya. Natal. Iya, momen ini yang selalu saya tunggu. Ibu saya akan membelikan kami anak-anaknya baju baru. Sepanjang tahun ibu menyisihkan uang untuk acara ini. Gaji dan THR ayah saya yang tidak seberapa itu tidak akan cukup membelikan kami baju Natal dan mendanai ibu membuat kue untuk open house.

Saya ingat satu peristiwa, di mana ibu mengajak saya dan adik saya keliling pasar tradisional untuk berburu baju Natal. Saya adalah anak yang keras kepala. Kadang, ibu saya yang sudah tergerus usia memegangi pinggang sambil menyeret langkah kakinya mengikuti mata saya yang terus menjelajah toko-toko pakaian. Saya tidak mudah terpuaskan hanya dengan berhenti pada beberapa toko saja. Sengotot itu saya karena baju baru hanya saya dapatkan satu tahun sekali. Ya, hanya ketika menjelang Natal. Jadi, beberapa toko memang tidak akan cukup memuaskan hasrat hati saya.

Kenangan paling menarik dari semua kenangan tentang Natal adalah pengorbanan ibu saya. Beliau kadang tidak jadi membeli baju baru untuk dirinya sendiri karena semua uang yang disisihkan habis terpakai untuk membeli baju kami anak-anaknya dan bahan-bahan untuk membuat penganan saat open house. Kadang, beliau harus berpuas diri dengan baju lamanya yang ia pandang-pandangi dengan senyum kecil di depan cermin sembari berputar ke kanan dan ke kiri. Baju lama yang akan tampak baru baginya karena kasihnya pada kami.

Ibu tidak pernah absen membuat kue kering menjelang Natal. Mahal jika harus membeli kue dari pasar. Rasanya pun kadang tidak seperti yang diharapkan. Jadi, ibu akan bangun pagi-pagi, mempersiapkan adonan, loyang, kompor, dan oven kesayangannya. Tentu saja, resep kue buatan ibu selalu dipertanyakan saat tamu-tamu berkunjung ke rumah.

“Ini resepnya apaan, Tante? Kok enak, ya? Aku selalu gagal kalau buat kue ini.” Celoteh salah satu tamu.

Ibu hanya membalasnya dengan rendah hati, “Ah, sama saja kok resepnya, tidak ada yang spesial.”

Mereka tidak tahu, tangan ibulah yang membuat penganan itu lezat. Beliau mencurahkan hatinya di sana, ketika mengerjakan semua itu. Di dalam dapur yang sempit, dengan alat-alat dapur yang sederhana, dan tugas-tugas lainnya mengurus rumah tangga, ibu tetap dapat mencurahkan hatinya pada kue-kue yang ia buat. Kadang, ibu baru selesai malam karena ia memaksakan diri membuat dua kue sekaligus dalam satu hari.

Ah, betapa rindunya aku pada ibu. Aku ingin mencium bau keringatnya karena berada dekat dengan oven. Aku ingin memegang tangannya yang sudah sedikit berkerut karena mengerjakan banyak hal di dalam rumah tanpa sedikitpun mengenal yang namanya pelembab tubuh (a.k.a lotion). Aku ingin memegang pipinya, rambutnya. Aku ingin memeluk tubuhnya yang lelah karena bekerja seharian. Aku ingin mendengar suara merduanya saat menyanyi di sela-sela melepas penat. Ah, mengapa dulu aku tidak menyadari kalau ibu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk rumah kami. Aku jadi rindu pada Natal kala itu….

Saat open house, rumah kami terasa riuh, hangat dengan sapa dan tawa, meski tak ada pohon Natal yang menghiasi ruang tamu. Kenalan dan saudara datang berkunjung. Pasti ada selalu cerita yang dibagikan kehadiran mereka. Merekalah pohon Natal kami. Merekalah lampu hias yang berkelap-kelip di rumah kami. Hanya aku saja yang kadang merasa sedikit malas saat open house karena harus selalu membantu ibu mencuci piring dan gelas. Ya, tipe anak perempuan kebanyakan mungkin (mencoba membenarkan diri-red).

Ada kisah lain tentang Natal kala itu, di mana gereja menjadi lebih berwarna dari biasanya. Guru Sekolah Minggu saya adalah yang paling sibuk menjelang Natal. Mereka akan melatih anak-anak Sekolah Minggu, mempersiapkan hadiah Natal dengan budget gereja, dan mendekorasi gedung ibadah. Dulu, saya tidak pernah mengira hal itu akan menguras tenaga dan pikiran sampai akhirnya tahun ini saya melakoninya. Ya, jadi guru Sekolah Minggu di bulan Desember itu ternyata tidak mudah. 😀

Menjelang Natal, saya dan teman-teman gereja akan berlatih menyanyi dan menari untuk merayakan Natal. Saya pernah kebagian menyanyi berdua dengan adik saya. Itu adalah kali pertama saya tampil di ibadah umum untuk menyanyi. Saya baru kelas 4 rasanya waktu itu. Ketika menaiki panggung, kaki saya mendadak hilang kekuatan. Tangan saya bergetar. Saya tidak bisa mengendalikannya karena pandangan mata saya menyapu seluruh sudut ruang gereja dari atas panggung. Jemaat yang hadir mungkin lebih dari dua ratus. Sesak sampai ke belakang. Bibir saya kelu. Ingin rasanya punya ilmu menghilang.

Di awal lagu, jemaat bisa mendengar suara saya yang tidak stabil karena gugup. Ibu pernah berpesan, “Nak, nanti kalau kamu gugup di atas panggung karena banyaknya jemaat yang hadir, masuklah ke dalam pikiranmu dan katakana pada dirimu sendiri bahwa jemaat itu adalah boneka. Anggap saja begitu. Apakah kamu takut dan malu menyanyi di hadapan boneka?”

Saya menggeleng lemah namun sembari mempertanyakan pesannya kali ini. Aneh rasanya menganggap manusia-manusia itu sebagai boneka. Entah dari mana beliau mendapatkan ide seperti itu.

Tapi saya salah besar! Kali ini saya harus memuji ide brilian ibu. Saat suara gugup saya terdengar dari sound system yang menggelegar, saya lantas mengingat pesan ibu.

“Mereka adalah boneka, boneka, boneka!” Gumam batin saya, mencoba memantrai pikiran sendiri.

Tralaaaaaaaa….mantra itu berhasil. Suara saya tidak lagi gugup. Saya menikmati lagu yang saya bawakan. Mereka adalah boneka di kamar saya…..Yuhuuuuuuuuu!!!! Saya bahkan ketagihan dan menyesal mengapa durasi lagunya terlalu pendek. Saya masih belum sepenuhnya “panas”. Jika diberikan waktu tambahan, saya mungkin bisa improve lebih baik lagi. Mantra aneh ibu sungguh sakti! J

Mungkin ada yang berpikir setelah membaca tulisan panjang saya ini, “Mbak, memaknai Natalnya rendah sekali. Natal itu kan tentang Yesus. Mana kisah tentang Yesus-nya?”

Well, saya melihat pribadi Yesus pada beberapa orang yang Tuhan izinkan menjadi bagian dalam hidup saya. Saya melihat teladan pengorbanan dan ketulusan Yesus pada pribadi ibu saya. Saya melihat kesetiaan dan kreatifnya Yesus pada guru Sekolah Minggu saya yang berjerih lelah mempersiapkan acara Natal setiap tahun. Saya melihat kemurahan hati Tuhan pada keluarga sederhana saya dengan mengizinkan saya mendapatkan baju baru setahun sekali. Saya melihat penyertaan Tuhan pada setiap hal-hal kecil yang boleh terjadi dalam hidup saya. Dan memberikan ide mantra penghilang rasa gugup untuk disampaikan ibu saya kepada saya adalah salah satu cara Dia untuk menyatakan “Saya menyertai pertunjukanmu, Nak.”

Untuk saya yang masih kecil kala itu, Yesus menyatakan pribadi-Nya dari hal-hal sederhana. Mungkin saja, itu tidak terlalu rohani dan spektakuler, tapi kadang, memahami pribadi-Nya tidak selalu harus dengan cara yang kaku.

Selamat Natal, Ibu. Tuhan Yesus baik!

img_2239-1.jpg

Bandung, 13 Desember 2019

-Saat menunggu dengan setia kemungkinan adanya orang tua yang datang mengunjungi saya saat pembagian rapor Semester 1-

 

Leave a comment